FILOSOFI TARI SULAWESI SELATAN
Sulawesi dalam pertumbuhan dan
perkembangan dibagi menjadi Propinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Timur, dan pada tahun 2004 ini dikembangkan lagi
Sulawesi Barat. 5 Propinsi yang secara administratif merupakan cikal bakal
masyarakat yang mewarisi budaya kerajaan tua di Indonesia
Propinsi Sulawesi Selatan terdiri dari 22 kabupaten 2 kotamadya,
berpenduduk sekitar 15 juta jiwa. Penduduk asli dan pendatang dari luar
Sulawesi. Ada 4 Suku bangsa yaitu To Ugi (Bugis), To Mangkarasak (Makasar),
Toraja, dan Menrek (Mandar) yang  saat
ini mengalami pertumbuhan budaya wilayah Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan.
Secara
administratif orang Bugis dan Makasar menjadi suku terbanyak  di Sulawesi Selatan, mendiami 17 kabupaten
dan 4 kotamadya. Masyarakat Bugis terdiri dari Maros, Pangkep, Barru, Pinrang,
Sidrap, Wajo, Soppeng, Bone, Enrekang, Luwu, Sinjai, Bulu Kumba, Polmas serta
kotamadya Ujung Pandang dan Pare-pare. Demografi penduduk berpusat pada Maros,
Pangkep, Enrekang, Sinjai, Bulukumba, dan kotamadya Ujung Pandang.
Kerajaan-kerajaan yang terkenal di wilayah ini diantaranya Tana
Luwu, Tana Bone, Tana Wajo, Tana Soppeng, Tana Suppa. Kerajaan Bugis bersatu
disebut tana Ugi atau Nagari Bugis. Tana Ugi memiliki hubungan persaudaraan
atau persahabatan didasarkan atas kesadaran kesatuan etnis yang disebut
Sempugi  yang dijunjung tinggi. Sesama
masyarakat Ugi memiliki hubungan darah yang terjalin erat, tak heran dalam
Wari  tata tertib garis keturunan tiap
kerajaan Bugis menghormati leluhur yang paling tua kearah muda yakni Tana Luwu,
Bone, Soppeng baru menyusul lainnya.
Orang Bugis dan Makasar digolongkan turunan orang Melayu Muda. Orang
Melayu Muda datang sekitar tahun 1500 SM, mendiami daerah pesisir hingga
pedalaman dan pegunungan. Ada asumsi yang menyatakan bahwa keturunan Melayu
Muda mendesak orang Melayu Tua dimana orang Melayu Tua adalah masyarakat
terdesak yang bermukim di pegunungan di sebelah utara wilayah Sulawesi Selatan.
Pendapat tersebut menggiring kenyataan bahwa orang-orang yang terdesak tersebut
pada akhirnya disebutkan sebagai Toraja (Kelompok Melayu Tua). Hal tersebut
seperti dinyatakan oleh Mattulada yang menyatakan bahwa baik orang Bugis dan
Makasar keduanya satu stam dengan orang Toraja. Akan tetapi suku Bugis dan
Makasar telah mengalami perkembangan kebudayaan lebih dari orang Toraja 1).
Secara deemografi, masyarakat Makasar lebih dari 43% jumlah
penduduknya terdiri dari suku pendatang, pada 57% sisanya adalah masyarakat
asli Makasar. Orang Makasar menjadi masyarakat yang terbuka dengan masyarakat
lain, sehingga dalam perkembangan budaya dan peradabannya lebih cepat  maju dan variatif.
Masyarakat Makasar lebih banyak mendiami wilayah pusat kota. Mereka
berperadaban lebih banyak menerima anasir dari luar, sehingga hal tersebut
membawa perubahan pola pikir dan pola budaya yang dimilikinya. Banyak seni dan
budaya yang dimiliki berhubungan dengan kepercayaan, keberanian, kepahlawanan,
dan kejadian-kejadian alam serta kisah raja-raja di sekitar Sulawesi.
Pada masa lampau, pola pikir dan perkembangan budaya yang
menyertainya merupakan rentetan keritera yang diwariskan bukan semata untuk
pengantar tidur, melainkan sebagai salah satu proses pendidikan, pembentuk
watak, dan kepribadian anak di lingkungan keluarga. Dengan demikian berfungsi
sebagai sarana pendidikan yang rekreatif dan komunikatif. Peran fungsi tersebut
mengantarkan Masyarakat makasar menjadi generasi yang memagang teguh nilai luhur
generasi leluhur serta memiliki kecenderungan 
melakukan tongkat estafet pelestarian budaya kepada generasi penerus.
Masyarakat Toraja adalah sebagai kelompok masyarakat yang sebagian
banyak mendiami di daerah pegunungan. Mereka usul sejarahnya merupakan
masyarakat terdesak, sehingga mereka lari ke pegunungan. Sebagian warisan
budaya dan tradisi yang berkembang di daerah Toraja didominasi oleh adanya
kepercayaan bahwa komunikasi alam, manusia dan siklus hidupnya saling terkait.
Oleh sebab itu di sekitar wilayah Toraja dapat dijumpai adanya peninggalan yang
memiliki warisan budaya yang erat kaitannya dengan alam, siklus hidup manusia,
dan kepercayaan untuk menyatu dengan alam secara  kontinyu.
Masyarakat Mandar dalam waktu-waktu ini sedang dalam perhelatan
demografis. Hal ini sebagai serentetan dari perjalanan sejarah yang sedang
dialami wilayah ini menyangkut perkembangan dan pemekaran wilayah. Pada
kenyataan masyarakat ada yang setuju dan menolak adanya pemekaran dan
perkembangan masyarakatnya.
Masyarakat Sulawesi Selatan masih percaya bahwa apabila seorang anak
dilahirkan bukan saja mendapat jiwa atau Nyawa, akan tetapi juga memperoleh
semangat/sumangek/sungek. Sumangek  ini
harus dijaga agar tidak meninggalkan wadah atau jauh dari tubuh manusia. Bila
sumangek jauh dari tubuh, manusia akan lemah, sakit dan akhirnya meninggal.
Oleh karena itu, kebanyakan masyarakat Sulawesi Selatan pantang mengusikorang
sedang tidur, mengejutkan dan menepuk-nepuk kepalanya. Semua pantangan ini
ditaati untuk menghindari agar jangan sampai melakukan perbuatan tersebut,
ternyata sumangek tidak ada di tempat atau jauh terpisah dari bentuk kasar atau
jasad.
Di sisi lain yang dianut, Masyarakat Sulawesi Selatan pada awal
peradabannya  dipengaruhi oleh mitos,
baik berwujud tradisi lisan maupun tulisan. Mitos Simpuruksiang di Luwu,
Sengingridi di Bone, Petta Sekkanyli di Soppeng, Puteri Tamalate di Gowa
merupakan tomanurung  yang membentuk
corak kebudayaan orang Bugis dan Makasar. Mitos Surek Galigo menceriterakan
tentang negeri Bugis, ketika Batara Guru dari dunia atas bertemu dengan We
Nyelik Timo dari dunia bawah. Aapakah hal ini memiliki kebenaran?.
Dalam sistem falsafah, para pemikir modern menentang hal di atas,
sebab hal tersebut membingungkan, penuh barang asing, bahkan dapat mendatangkan
kebiadaban. Untuk kepentingan intelektual yang tinggi, subyek tentang kekaguman
dan pemujaan dipandang sebagai cikal bakal kebudayaan umat manusia. 
Orang Bugis mengenal mitos Galigo dan termaktub dalam Surek Galigo.
Isinya menceritakan tentang awal mula ditempatinya negeri Luwu yang dipandang
sebagai negeri Bugis tertua. Perpaduan dunia atas (boting langit), dunia bawah
(burikliung), dan dunia tengah (alekawa) digunakan oleh mereka untuk perkawinan
antara orang-orang sedaerah, dimana perkawinan mengharuskan orang mencari jodoh
di lingkungan sosial sendiri. Perkawinan tersebut dikatakan sebagai perkawinan
sepupu. Jenis perkawinan boting langit antara lain antara Datu Patoto dengan
Datu Palinge, perkawinan burikliung antara Guru ri Selleng dengan Simpuru Toja,
sedangkan perkawinan eksogam merupakan perkawinan Batara Guru dari boting
langit dengan We Nyili Timok dari burikliung.     
Akhir kisah Galigo ditutup oleh La Tenritatta sebagai cucu
Sawerigading yang berpesan agar mengakhir zaman Galigo. Muncul mitos
Simpuruksiang. Mitos ini ditutup dengan mitos We Tappacina, dan seterusnya. Pada prinsipnya mitos
yang berkembang di Sulawesi Selatan banyak diwarnai oleh masalah-masalah
kekeluargaan, kepercayaan, dan pandangan hidup. Dikisahkan salah satu mitos
yang paing menggemparkan adalah kecepatan jelajah dan waktu yang dipergunakan
oleh Sangiangseri dari satu daerah ke daerah lain dalam waktu sekejap.
Kata-kata ala marressa otae, alakeddeng pabbojae, menjadi kunci dalam
mengantarkan kecepatan berpindah dalam sekejap. Sebelum melumat daun sirih, dan
berkedip mata mereka sudah tiba di negeri yang dituju (dalam Bissu: Halintar
Latief). 
Mitos sebagai awal dari
peradaban manusia dalam bentuk kebudayaan, di Sulawesi Selatan salah satu
bentuknya dalam wujud tari-tarian. Tidak kurang dari 320 jenis tarian Sulawesi
Selatan berkembang diberbagai wilayahnya. 69 jenis tarian berkembang di daerah
Bugis, 66 jenis tarian di Makasar, 116 jenis tarian di Mandar dan 36 lainnya di
daerah Toraja.
Dalam bahasa Ugi, kata sere, jaga, jogek, katia, atau sajo berarti
tari. Sere berarti mondar-mandir kian kemari, sedangkan jaga berarti tetap
waspada dengan tidak tidur semalaman. Tiap istilah ditambah kata ma berrati melakukan
pekerjaan. Masere, majogek, majaga, berarti melakukan menari atau berjoged.
Setiap kata diawali kata pa berarti julukan bagi pelakunya, seperti pasere,
pajaga, pajogek adalah penarinya (Halilintar Latief: dalam Tari Daerah Bugis). 
Pendidikan tari pada saat kejayaan kerajaan
Luwu, Bone diwajibkan bagi putri bangsawan yang berasal dari lingkungan
bangsawan. Pendidikan tari bagi bangsawan Sulawesi Selatan bertujuan untuk
membuat kedo (perbuatan; tingkah laku; gerak gerik) dan ampe (tutur bahasa) menjadi
mulia. Banyak ungkapan yang menggambarkan kesatuan tutur kata, isi hati, dan
tindakan dapat diidentifikasi melalui gerak-gerik, tutur bahasa, niat hati
selaras dengan nasehat orang di sana bahwa kedo-kedo malebbi, ampe-ampe
madeceng, ati mapaccing, majjaga ri ati wennie. Ungkapan tersebut
termanifestasikan lewat kalimat taro ada, taro gau, yang berarti satukan kata
dengan perbuatan. Dampak yang diakumulasi menjadi setiap tekad atau cita-cita
ataupun janji yang telah diucapkan akan dipenuhi melalui perbuatan nyata
walaupun hingga merenggut nyawa.             
Terima kasih, infonya sangat bermanfaat. semoga langgeng dan berkembang dengan baik.
BalasHapus