Pemimpin Bugis Sejati (Kami Rindu Jiwamu, Wahai Sang Jenderal..)
JENDERAL
 (Purn) M. Jusuf, meninggal dengan tenang, di kampung halamannya, Kota 
Makassar. Ia pergi sebagai seorang kesatria tulen, tanpa cacat nama. 
Kita mengenangnya sebagai seorang pemimpin yang sederhana dan amat 
jujur, watak yang jarang dimiliki para pemimpin kita yang lain. 
Kepergian jenderal ini terasa sebagau kepergian yang amat berarti bagi 
bangsa yang dahaga dengan kejujuran.
TIGA hari menjelang meninggalnya, 
saya ditelepon sohib kental saya yang juga kemenakan M Jusuf. Sohib saya
 menuturkan, ia menjemput pamannya dari salah satu rumah sakit di 
Jakarta, untuk dibawa kembali ke Makassar. Katanya, Jusuf sendiri telah 
memberi sinyal, ia ingin pergi dengan tenang di Makassar. Saat itu 
kondisi fisik Jusuf sudah amat rentan. Jusuf saat itu paham dan yakin, 
tubuhnya sudah tak kuat lagi menahan rupa-rupa penyakit yang melilitnya 
belakangan ini.
Ihwal kejujuran, tidak perlu 
dipolemikkan. Semua orang yang mengenal dekat M. Jusuf, pasti 
mengacungkan jempol. Kejujuran M. Jusuf berbanding lurus dengan 
kesederhanaannya. Beberapa dekade, ia menjadi petinggi di republik ini, 
kehidupannya tetap sama. Asesori kenikmatan sesaat amat jauh dari 
kehidupannya. Ia malah, tak memahami nilai uang. Beberapa orang, 
termasuk kemenakannya, pernah diberi uang kurang dari setengah juta 
rupiah. Ketika ia memberi uang itu, ia selalu wanti-wanti orang yang 
diberinya, menjaga diri agar tidak dirampok di jalan. Bagi M. Jusuf, 
uang itu seakan milyaran yang harus dibawa. Dalam perspektif ini, M. 
Jusuf teguh memegang prinsip kepemimpinan Bugis, seorang pemimpin yang 
berwibawa harus pemimpin yang berwatak Malempuu (lurus atau jujur).
Dalam prinsip hidup, 
M. Jusuf amat mengutamakan kejujuran karena ia tidak pernah percaya, pemimpin yang tidak jujur, bisa berwibawa. Orang yang bersih adalah orang yang bebas mengambil keputusan, dan pemimpin yang bebas mengambil keputusan, adalah pemimpin yang berwibawa.
M. Jusuf amat mengutamakan kejujuran karena ia tidak pernah percaya, pemimpin yang tidak jujur, bisa berwibawa. Orang yang bersih adalah orang yang bebas mengambil keputusan, dan pemimpin yang bebas mengambil keputusan, adalah pemimpin yang berwibawa.
Siapa M. Jusuf? Tidak banyak tulisan 
yang bisa mengungkapkan pria Bugis yang satu ini. Masalahnya, ia sendiri
 selalu menolak untuk ditulis. Sikap ini diperteguh kenyataan, M. Jusuf 
bukan tipe orang yang dengan mudah mengumbar ceritera. Ia amat pelit 
dalam mengungkap sesuatu kepada publik, apalagi yang berkait dengan 
dirinya. Maka, sosok sejati M. Jusuf hanya bisa dipahami melalui 
penuturan orang ke orang, yang kebetulan pernah dekat dan bekerja sama 
dengan dirinya.
Sikap yang terkesan tertutup ini bukan 
karena ia menutupi wilayah kelabu. Kesan ketertutupan itu lahir 
semata-mata karena M. Jusuf tidak senang merepotkan orang lain. Ia bukan
 pribadi yang menikmati kehebohan atas sebuah kejadian yang melibatkan 
orang lain. Ia bukan tipe orang yang bersenang-senang di atas 
ketelanjangan orang lain. Karena itu, setiap kejadian yang melibatkan 
dirinya dan orang lain, amat sulit dibeberkan. Ia tidak ingin mencederai
 orang lain dan keluarganya karena sebuah kejadian di masa silam. 
Baginya, masa silam tidak bisa dijadikan alat untuk merusak orang dan 
keluarganya. Ia simpulkan sikap ini dalam kosa kata Bahasa Bugis (ampe),
 artinya watak atau etika. Prinsip ini dipegangnya hingga kepergiannya.
Prinsip hidup sejenis ini menimbulkan
 rupa-rupa tafsir. Ada yang menilai, M. Jusuf menutupi berbagai kejadian
 masa lalu karena menyangkut reputasi dirinya. Lalu, orang mengambil 
kejadian masa lalu yang melibatkan M. Jusuf, yakni, terbunuhnya Kahar 
Muzakkar. Hingga kini, nisan dan kuburan Kahar Muzakkar, tidak diketahui
 publik, padahal, saat ia tertembak mati, jenazahnya dibawa ke Makassar.
 Setelah itu, hanya teka–teki yang bermunculan, yang tidak pernah 
dijawab M. Jusuf hingga kini.
Sekilas, ada sesuatu yang ganjil dengan 
kejadian ini. Namun, ketertutupan M. Jusuf tentang misteri ini, amat 
logis dan gampang dipahami. M. Jusuf merahasiakan jenazah Kahar Muzakkar
 demi menghindari pertumpahan darah ke depan. M. Jusuf menutupi ini 
untuk menghindari adanya sebuah tempat, yang bisa dijadikan simbol 
kemarahan dan kebencian, yang suatu saat, bisa memicu pelatuk kemarahan 
bagi pengikut atau orang yang sepaham dengan Kahar Muzakkar. Bagi M. 
Jusuf, nisan adalah simbol yang bisa jadi mithos, dan mithos bisa 
dijadikan jalan menuju apa saja.
Masih dalam kaitan dengan Kahar 
Muzakkar. Saat M. Jusuf memutuskan mendatangkan tentara dari Jawa untuk 
memberantas pasukan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, orang bertanya. 
Mengapa M. Jusuf tidak menggunakan saja pasukan pemerintah yang sudah 
ada di kedua provinsi itu, yang juga tentara-tentara bersuku 
Bugis/Makassar, sama dengan suku Kahar Muzakkar? Mengapa M. Jusuf 
mengambil kebijakan seakan membiarkan sukunya digempur pasukan luar? Tak
 pernah ada jawaban M. Jusuf ke publik hingga kini.
Kebijakan tanpa penjelasan publik, 
ternyata dilakukan M. Jusuf, semata karena ia ingin cepat menyelesaikan 
kasus ini. Baginya, jika Kahar Muzakkar digempur dengan pasukan lokal, 
persoalan bisa berlarut-larut sebab pasukan lokal yang ada, pasti 
memiliki tali temali kekeluargaan dengan Kahar Muzakkar, atau pengikut 
dan pasukan Kahar Muzakkar. Ikatan emosional seperti itu bisa 
memperpanjang agenda perang, atau memperpanjang agenda dendam.
Kesan ketertutupan seolah diperteguh 
praktek hidup sehari-hari M. Jusuf. Ia tak mudah, misalnya, menghadiri 
pesta, termasuk perkawinan. Baginya, yang paling penting dalam hidup 
adalah hadir saat orang lain kesusahan. Prinsip ini diaplikasikan, 
misalnya, ada kerabat yang sakit. M. Jusuf mengurus orang yang sakit 
sampai kepada hal yang amat detail. Dan itu dilakukan tanpa memberi 
kabar kepada publik.
Apakah rentetan misteri kejadian di 
republik ini, yang melibatkan M. Jusuf, langsung atau tak langsung, 
menjadi teka teki? Saya kira tidak. Soalnya, M. Jusuf selalu menulis 
catatan harian tentang banyak hal yang dialami. Ia menuliskan kejadian 
itu dalam aksara Bugis. Sebagai orang yang jujur, tulisan-tulisannya, 
juga refleksi dari kenyataan sebenarnya dan ditorehkan dengan kejujuran 
pula.
Kini, Jenderal yang diidolakan oleh 
bangsa itu, khususnya prajurit dan perwira TNI, terbaring tenang. 
Kepergian jenderal yang lurus ini, tentu amat berbekas di kalangan TNI, 
sebab M. Jusuf adalah pimpinan TNI yang amat memperhatikan nasib 
prajurit dan peralatan TNI. Di era Jusuf, pembelian peralatan TNI 
dilakukan besar-besaran, yang hingga kini masih dipakai.
Saat menjadi Menhankam/Panglima TNI, 
M. Jusuf memperbaharui peralatan TNI. Satu di antara adalah sejumlah pesawat 
hercules. Ia sama sekali tak menyangka, pesawat hercules yang dibelinya,
 adalah pesawat terakhir yang mengangkutnya dari Jakarta ke Makassar, 
dengan tubuh rapuh. Selamat jalan Jenderal.
Komentar
Posting Komentar